...semburat ketulusan dalam balut kesederhanaan...

FICTION>> Putih Abu-Abu

Aku memandangi bangunan bercat kuning gading di depanku dan tersenyum sendiri saat teringat impian masa SD-ku tentang bagunan ini. Ya, bangunan sekolahku! Nggak terasa sudah setahun aku menghabiskan masa SMA di sini―masa yang menurut banyak orang yang telah melewatinya adalah masa paling indah. Entah kenapa, pagi ini aku ingin berlama-lama memandangi banguan tingkat lima ini, mencari sebentuk kekuatan untuk menghadapi wawancara program beasiswa perguruan tinggi yang harus aku jalani hari ini.

Aku berjalan pelan melewati gerbang besar berwarna hitam sambil tersenyum ke beberapa orang yang aku temui. Dugaanku, beberapa orang dari mereka adalah murid baru, dengan kemeja yang masih terlihat baru dan rok yang panjangnya melebihi lutut. Berani taruhan, di sekolah mana pun, yang terakhir pasti jadi identitas murid baru yang masih jaim dan takut melanggar aturan tak kasat mata yang dibuat para senior.

"Wawancaranya dimajuin, Nit. Soalnya jam pertama kosong." Andy, salah satu kandidat penerima beasiswa menghampiriku yang berdiri di depan papan pengumuman.

"Oke. Makasih infonya, Ndy," ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari deretan kertas daftar pembagian kelas yang ditempel di papan pengumuan.

Suasana tahun ajaran baru selalu seperti ini. Wajah-wajah baru dengan tatapan takut-takut, papan pengumuman dengan lautan manusia di depannya, bau cat yang masih tercium jelas, dan lapangan basket yang dipadati murid baru--dengan warna lantainya yang tidak kusam seperti biasanya.

Aku berhasil menemukan namaku, Andarani Yudhianitya di kelas XI-5. Dan aku pun tersenyum lebar saat mataku tertumbuk pada satu nama di bawahnya. Anggoro Yudantyo. Angga. 

Aku mengenalnya pada hari pertamaku di sekolah ini. Waktu itu dia yang membantuku melihat daftar pembagian kelas, karena tubuh kecilku tidak sanggup menembus kerumunan masa yang bergerombol di depan papan pengumuman. Dan akhirnya, cowok tinggi atletis berkulit coklat dengan sorot mata ramah itu menjadi sahabatku.

"Gue duluan, ya, Ndy. Mau ngasih tau Angga kalo kita sekelas lagi."

Andy yang duduk di bangku taman hanya melambaikan tangannya, tanpa mengalihkan tatapannya dari lapangan basket.
::
Sampai saat ini aku nggak berhasil menemukan Angga. Padahal bukan kebiasaannya datang terlambat. Selama aku mengenalnya, Angga selalu menghargai setiap detik yang dia miliki.

"Sori, ada yang liat Angga nggak?" tanyaku pada segerombolan cewek yang mengobrol di pinggir lapangan. Dan jawaban yang aku peroleh (lagi-lagi) hanya gelengan kepala.

Aku mengerang putus asa. Tinggal satu orang lagi yang mungkin tau di mana Angga, Andy, teman Angga sejak SMP.

"Ndy!" Nafasku terengah saat aku berhasil menemukan Andy di kantin belakang.

"Nah, kebetulan, Nit. Gue baru mau nyari lo. Lo dipanggil Bu Dian, tuh."

Keningku mengerut hebat. "Ada masalah apa, sih, Ndy? Kok gue dipanggil guru BP?"

Andy mengangkat bahunya acuh. "Mana gue tau. Tadi pas gue lewat depan ruangannya, dia minta tolong dipanggilin lo."

"Ya udah, deh. Gue ke ruang Bu Dian dulu." Aku berbalik menuju ruangan Bu Dian dan lupa tujuanku awalku mencari Andy.

::

Aku mengetuk pelan pintu ruangan Ibu Dian, guru BP di sekolahku. Lalu terdengar jawaban dari balik pintu kaca yang dilapisi kerai plastik warna putih itu, "ya, masuk."

"Selamat pagi, Bu. Ibu memanggil saya?"

"Oh.." Bu Dian mengalihkan pandangannya dari tumpukan kertas di hadapannya. "Selamat pagi, Nitya. Ayo masuk," jawabnya ramah.

Keherananku makin menjadi melihat tanggapan Bu Dian. Kalau aku memang termasuk kategori 'bermasalah', beliau nggak mungkin seramah ini kepadaku. Tapi kalau aku nggak 'bermasalah', kenapa beliau memanggilku?

Oke, bilang aku kolot atau picik atau apalah! Tapi buat aku, saat seorang murid tiba-tiba dipanggil ke ruangan BP itu artinya murid tersebut adalah murid bermasalah. Sehingga ia membutuhkan bimbingan dari seorang guru BP.

"Ada apa, Bu?" tanyaku resah setelah duduk di hadapannya.

"Hmm..kita langsung aja, ya, Nitya." Bu Dian melepas kaca matanya, melipatnya, lalu meletakkan begitu saja di atas meja yang penuh dengan tumpukan kertas dan map warna-warni. Beliau mengusap wajahnya sebelum melanjutkan, "kamu tau kalau hari ini Angga tidak masuk?"

Aku menggeleng. "Angga nggak ngasih kabar apapun ke saya, Bu. Mungkin dia cuma belum datang, bukannya nggak masuk."

"Tidak, Nitya. Angga memang tidak masuk hari ini dan entah sampai kapan. Ada masalah serius yang dihadapinya, dan Ibu rasa, sebagai orang terdekatnya di sekolah, kamu harus tau tentang ini."

Keningku makin berkerut. "Maksud Ibu?"

Bu Dian menarik nafas panjang sebelum berkata, "pihak sekolah mendeteksi ada ketidakberesan pada Angga. Dengan berat hati, Ibu harus mengatakan bahwa Angga  diduga menggunakan narkoba. Ini informasi akurat, Nitya, karena diperoleh dari hasil pemeriksaan urine dan darah yang dilakukan rutin setiap tahun."

Kamu tau rasanya jadi aku? Wajahku pucat, kepalaku mendadak pusing, lututku bergetar, dan tanah yang aku pijak serasa membelah dan menelanku bulat-bulat. 

Aku kaget. Shock. Sahabatku terjerumus ke lembah hitam.

"Terus...sekarang Angga dimana, Bu?" tanyaku pelan, bahkan nyaris tak terdengar olehku sendiri.

"Sekarang dia sedang menjalani rehabilitasi. Karena tingkat ketergantungannya belum begitu parah, pihak sekolah memutuskan untuk tetap memperbolehkan dia melanjutkan sekolah setelah masa rehabilitasinya selesai, dengan catatan dia tidak mengulangi perbuatannya. Mulai hari ini dan seterusnya, sampai dia lulus, Angga akan berada di bawah pengawasan ketat pihak sekolah." Bu Dian mengucapkan semuanya dengan gamblang. "Saya tau kamu kaget, Nitya, tapi ini kenyataan."

Aku nggak tau harus melakukan apa. Bahkan untuk menanyakan keadaan Angga sekarang pun aku nggak sanggup. Rasanya aku seperti menelan berpuluh-puluh pil pahit. Aku kecewa pada Angga. Di lain pihak, aku marah pada diriku sendiri. Sahabat apa aku ini, sampai tidak tahu kalau sahabatnya terperosok ke lembah hitam.

"Kalau saya boleh tau, apa penyebab di balik semua ini, Bu?" Susah payah aku menelan ludah.

"Yaah...untuk anak seusia kalian, apalagi penyebabnya kalau bukan masalah keluarga. Setelah ditelusuri lebih lanjut, akhirnya diketahui bahwa keadaan keluarga Angga yang tidak harmonis lah pemicunya. Kami sangat menyayangkan semua ini, karena bagi kami Angga adalah siswa berprestasi. Salah satu bibit unggul yang akan mengharumkan nama sekolah. Dan terpaksa, kami harus mencabut beasiswanya."

Aku semakin kaget mendengarnya. Mulutku nggak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Saya membicarakan ini dengan kamu karena saya tau kamu adalah sahabat Angga. Dan semua ini secara nggak langsung berhubungan dengan kamu, Nitya."

"Maksud Ibu?" kataku terbata. Otakku buntu. 

Benar-benar buntu!

"Kami meminta kamu untuk menjauhi Angga selama proses administrasi beasiswa kamu berlangsung. Karena kedekatan kamu dengan Angga yang sekarang masuk dalam daftar buku hitam sekolah bisa mendiskreditkan poin kamu di mata pemberi beasiswa. Kemungkinan terburuknya, mereka juga akan mencabut beasiswa kamu. Pihak sekolah nggak mau itu terjadi. Sudah cukup kami kehilangan Angga." Bu Dian menghela nafas berat. "Gimana, kamu sanggup?"

Aku diam sejenak, berusaha mencerna omongan Bu Dian. Ini adalah`pilihan sulit. Tapi nyatanya, aku mengangguk perlahan, bersalaman dengan Bu Dian, dan beranjak keluar dengan perasaan nggak karuan. Di satu sisi aku marah pada Angga yang selama ini telah membohongiku, tapi di sisi lain aku nggak bisa meninggalkan sahabatku terpuruk sendirian.
::
Satu bulan berlalu sejak pertemuanku dengan Bu Dian. Selama itu pula Angga 'menghilang' dari sekolah. Aku juga nggak bisa menemuinya di luar sekolah, karena pihak sekolah dan keluarganya merahasiakan keberadaannya. Aku sudah terlalu lelah mempertanyakan keberadaan Angga, makanya belakangan ini aku berhenti mencarinya.

Entah bagaimana prosesnya, gossip tentang Angga sudah beredar di seantero sekolah. Angga berubah jadi selebritis yang selalu dibicarakan, bedanya mereka membicarakan Angga dengan nada mencemooh, bukan mengagung-agungkan. Dan aku sebagai sahabatnya juga terkena imbasnya, teman-temanku mulai menjauhiku, karena aku dianggap sama dengan Angga. Jujur aja, perlakuan mereka bikin aku nggak nyaman dan tertekan. Bayangkan, siapa yang betah bertahan tanpa teman di sekolah? Aku sih nggak yakin, deh.

Dan pagi ini, sama seperti Senin pagi lainnya setelah insiden Angga, aku berjalan gontai memasuki gerbang sekolah diiringi tatapan menghakimi dari teman-temanku. Aku nggak tahan dengan keadaan ini. Bukan aku yang berbuat, tapi kenapa aku yang harus menanggung resikonya. Kehidupan sosialku jadi kacau karenanya.

"Pagi, Nitya.. Pagi-pagi mukanya kok udah jutek?"

Aku kenal suara siapa itu. Angga, si penyebab semua kekacauan ini.

Nggak ada yang berubah darinya. Dia tetap tersenyum ramah. Tubuhnya pun nggak berubah, sama sekali nggak mencerminkan seseorang yang pernah kecanduan narkoba, tetap atletis dan segar.

Aku menatapnya sinis, tanpa sapaan hangat seperti layaknya seorang sahabat yang sudah lama nggak ketemu. Mungkin perlakuan teman-temanku yang mendorongku bersikap sinis padanya. Aku udah nggak kuat dikucilkan semua orang.

"Hei! Lo kenapa, sih, Nit? Kok kayaknya nggak seneng ketemu gue? Lo nggak kangen sebulan nggak ketemu gue?" Angga menghampiriku yang kini berdiri di samping mejaku.

Aku mengabaikannya, melatakkan tas, dan beranjak keluar kelas. Aku terlalu marah padanya.

"Nit, ada apa, sih, kok lo nyuekin gue?"

Aku mempercepat langkahku, meninggalkan Angga yang mengikutiku sambil menyerukan berbagai pertanyaan.

"Nitya! Tunggu dulu!" Angga berhasil menyamai langkahku dan mencengkram lenganku.

Mau nggak mau aku berhenti. Aku menatapnya nanar tanpa suara. Untuk beberapa saat Angga juga diam memandangiku.

"Gue salah apa, sih, Nit, sampe lo segininya ke gue?",ucapnya pelan setelah aku sama sekali nggak bereaksi.

Aku mencibir.

"Bukan perlakuan ini yang gue butuhin, Nit. Kalo semua orang di sekolah ini yang ngelakuin ini ke gue, gue bisa terima. Tapi kalo elo, gue nggak akan sanggup, Nit." Suara Angga bergetar hebat dan membuatku merasa sangat bersalah.

Aku tau aku salah. Tapi aku juga nggak mau membuang egoku. Aku terlalu muak dengan apa yang telah terjadi sebulan ini.

"Gue muak sama perlakuan semua orang, Ngga. Gara-gara lo, gue harus membuat sebuah keputusan berat, memilih antara elo atau beasiswa yang selama ini gue impikan. Karena lo hidup gue jadi kacau. Jadi lebih baik mulai sekarang lo nggak usah deket-deket gue lagi," desisku marah.

Angga tersentak, perlahan cengkramannya terlepas. Dia menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Yang aku tau, ada kesedihan yang kental disitu.

"Oke kalo mau lo gitu. Gue akan menghilang dari hidup lo. Tapi asal lo tau, Nit..gue bisa ngelewatin semua ini karena lo. Gue bisa sembuh lebih cepat dari yang seharusnya karena gue pengen cepet-cepet ketemu lo. Tapi kayaknya semua itu cuma keinginan gue sendiri. Gue terlalu banyak berharap dari lo, orang yang selama ini gue anggap sahabat." Angga menarik nafas berat. "Gue minta maaf udah bikin hidup lo kacau. Tapi, sumpah, gue nggak pernah niat bawa-bawa lo dalam masalah gue. Makasih udah mau jadi sahabat terbaik gue selama ini," katanya lirih.

Angga melangkah mundur. "Asal lo tau, Nit...bukan cuma lo yang kecewa. Tapi gue juga kecewa. Gue kecewa karena lo...--" Angga berusaha mengatur nafasnya yang semakin memburu. Mungkin karena dia berusaha menahan luapan emosinya. "--...yang ngakunya sahabat gue, justru memilih buat ikut-ikutan ngucilin gue!!! Sekarang gue tanya sama lo, Nit...di mana lo waktu gue butuh teman untuk cerita? Di mana lo waktu gue lagi susah? Lo nggak ada, Nit!! Lo nggak ada!! Lo sibuk sama diri lo sendiri, sama beasiswa lo, tanpa perduli keadaan gue."

Aku tersentak. "Tapi...lo kan nggak pernah cerita sama gue, Ngga! Tiap kali ketemu atau ngobrol, lo terlihat baik-baik aja."

Angga mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. "Ya...ya...ya...gue baik-baik aja. Tapi apa pernah lo nanyain keadaan gue? Paling nggak, nanyain kabar gue?!? Nggak kan, Nit!" Lalu Angga berbalik dan meninggalkanku yang terpaku memandangi kepergiannya.
::
Sejak hari itu, aku selalu melihat Angga melakukan apapun sendirian, mulai dari makan di kantin sampai mengerjakan tugas-tugas yang seharusnya dikerjakan berkelompok. Angga benar-benar dikucilkan, bahkan Andy yang sudah mengenalnya lebih lama dariku pun menjauhinya. Kabar yang aku dengar, Angga sempat ingin pindah sekolah, namun tidak diizinkan oleh pihak sekolah. Akhirnya sampai sekarang dia tetap tabah menjalani hari-harinya berteman dengan kesendirian.

Sebenarnya aku nggak tega melihatnya seperti itu. Tapi aku juga nggak mau kehilangan beasiswaku. Aku juga masih nggak siap dikucilkan teman-temanku.

"Nit, gue nggak ngerti, deh sama jalan pikiran pihak sekolah. Kenapa mereka memilih Angga sebagai wakil buat Olimpiade Matematika bulan depan?" Andy menghampiriku yang sedang asyik memperhatikan Angga dari kejauhan.

Aku menoleh malas. "Karena dia emang pintar di bidang itu," jawabku santai.

"Apa, sih yang bisa diharapkan dari seorang pemakai kayak dia?!?" Ada emosi terselip di suaranya. Mungkin karena dia tidak terpilih untuk mewakili sekolah.

Entah kenapa, aku nggak bisa terima kalo Andy mendiskreditkan Angga.

"Jadi mantan pemakai bukan berarti dia kehilangan otak dan kemampuannya, kan? Gue heran sama elo, Ndy. Lo kan temennya Angga dari SMP, tapi lo malah menghujat dia kayak yang lain," makiku.

Andy mencibir. "Apa bedanya sama lo, Nitya? Dulu lo ngaku sebagai sahabatnya dia, tapi apa kenyataannya sekarang?!" Andy balas meneriakiku.

Aku merasa terpojok dan balas memakinya. Akhirnya kita berantem dan jadi tontonan orang banyak.

"Ada apaan, sih?" Seseorang menyeruak di antara kerumunan masa.

"Ndy, kenapa sih lo nggak pernah puas ngancurin hidup gue? Apa belum cukup lo nyebarin gossip tentang gue sampe gue dikucilin kayak gini?! Kalo lo bermasalah sama gue, nggak usah bawa-bawa Nitya." Angga datang dan mencengkram kerah baju Andy.

Aku terkesiap mendengar kenyataan yang terjadi. Jadi selama ini Andy yang udah tega melakukan semuanya ke Angga.

"Cih! Ngapain lo belain dia?!" Andy menudingku persis di depan mata. "Lo lupa kalo dia juga ikut ngucilin lo?!"

"Nitya cuma korban perbuatan orang lain. Dia nggak salah. Dan sampai kapan pun gue akan tetap ngebela Nitya, apalagi dari orang kayak lo!" Angga melayangkan tinjunya ke pelipis Andy.

"Tonjok terus, Ngga. Nggak ada yang mau ngebela mantan pemakai kayak elo, apalagi pihak sekolah."

"Gue jadi begini juga karena elo, Ndy. Apa lo lupa kalo lo yang ngenalin gue sama barang-barang haram itu? Lo yang dateng ke gue dengan barang-barang sialan itu saat gue lagi mempertanyakan keberadaan keluarga gue. Lo tuh nggak ada bedanya sama gue. Nasib lo aja yang lebih baik, makanya lo nggak ketauan. Sampe sekarang gue juga heran, kenapa lo bisa lolos dari pemeriksaan urine dan darah kemaren?!"

Andy diam. Pandangannya menatap resah ke segala penjuru.

Angga melayangkan tinjunya sekali lagi ke ulu hati Andy. "Itu buat Nitya."

"Angga...udah! Jangan diterusin. Bahaya buat lo sendiri.", teriakku panik.

Angga itu masih berada di bawah pengawasan sekolah, kelakuan negatif apapun bisa membahayakan dirinya. Angga bisa dikeluarkan dan tidak akan bisa bersekolah di sekolah manapun.

Aku menarik Angga yang kalap. "Udah, Ngga! Jangan sia-siain kesempatan yang udah dikasih sekolah ke elo. Ngapain juga lo belain gue yang udah jahat banget sama lo? Gue nggak pantes nerima semua itu, Ngga."

Aku terisak, karena menyadari kesalahan yang sudah aku perbuat ke Angga. Setelah apa yang aku perbuat ke Angga kemarin, sekarang dia masih mau membelaku. Bahkan dia juga mempertaruhkan masa depannya demi membelaku.

Angga tersenyum tulus. "Lo nggak apa-apa, Nit?"

Aku menggeleng lemah. "Jadi semua ini kerjaan Andy?" tanyaku di sela-sela isak tangis yang semakin menjadi.

Angga tidak langsung menjawab. "Gue nggak akan ngebiarin lo ngalamin nasib kayak gue," bisiknya.

"Makasih, ya, Ngga. Gue minta maaf buat semua kesalahan gue selama ini."

Lagi-lagi Angga tersenyum. "Nggak ada yang perlu dimaafin, kok, Nit." Lalu dia meninggalkanku yang masih terisak.

"Ngga, lo mau kemana?"

"Gue kan nggak boleh deket-deket lo, Nit. Nanti kalo ada guru yang liat, beasiswa lo bisa dicabut. Lo nggak mau kan kehilangan beasiswa kayak gue?"

Aku menghampirinya. "Gue udah nggak perduli sama beasiswa itu, Ngga. Orang tua gue juga masih sanggup bayarin gue kuliah dimana pun gue mau. Tapi seorang sahabat sejati kayak lo nggak mungkin bisa dibeli dengan apapun, termasuk duit bokap gue...kecuali dengan sebuah ketulusan."

"Maksud lo?" Angga menatapku heran.

"Setelah gue pikir-pikir, gue lebih memilih lo ketimbang beasiswa itu. Gue relain beasiswa itu hilang, yang penting lo nggak pernah pergi dari gue dan tetep jadi sahabat gue."

"Lo serius, Nit? Nggak sayang tuh?"

Aku menggeleng mantap.

Angga mengelus kepalaku penuh rasa terima kasih.

"Kenapa lo berubah pikiran?"

"Karena gue nggak mau ngelakuin kesalahan kedua. Gue malah menghabiskan waktu ngurusin beasiswa tanpa perduli sama keadaan sahabat gue. Gue sadar kalo orang-orang kayak lo justru butuh teman berbagi, bukannya malah dikucilin," jawabku lugas.

"Makasih banget, Nit. Lo emang yang terbaik yang gue punya."

Aku mengangguk dan tersenyum. "Hmm...kenapa, sih tadi lo belain gue? Padahal gue udah jahat banget sama lo, Ngga."

"Karena lo terlalu berharga buat gue..." jawabnya kalem.

"Waahh..terharu gue." Aku cengengesan.

"Gue serius, Nit. Kok lo malah cengengesan? Emang sedalam itu arti lo buat gue. Gue rela ngelakuin apapun demi lo. Gue malah heran sama lo, kenapa lo masih mau temenan sama gue yang jelas-jelas punya sisi hitam dalam hidup?"

"Eeee..kalo jawaban gue juga sama, gimana? Lagian hidup ini bukan cuma hitam dan putih, Ngga. Ada warna abu-abu terselip di antaranya. Gue lebih suka memandang hidup sebagai putih dan abu-abu, karena itu berarti cuma ada hal-hal baik dan kesalahan yang bisa diperbaiki, tanpa kesalahan mutlak milik si hitam."

Angga mengerutkan keningnya. Sepertinya dia nggak ngerti maksudku.

"Setiap kesalahan itu pasti bisa diperbaiki, Ngga. Selalu ada maaf untuk kesalahan yang pernah diperbuat. Makanya gue mau maafin lo dan segala hal yang pernah lo perbuat, karena gue yakin semuanya akan kembali normal. Lo akan tetap jadi Angga yang selama ini gue kenal."

Angga menatapku lembut. "Gue nggak nyangka lo punya pandangan sedalam itu tentang hidup." Dia menjitakku pelan. "Hmm..tapi jawaban lo bikin gue ngarep."Angga cengar-cengir nggak jelas.

"Maksudnya?" tanyaku dengan sebelah alis terangkat.

"Hmm...salah nggak, sih kalo gue berharap hubungan kita lebih dari sekedar teman?"

Aku menggeleng. "Sama sekali nggak salah, kok...kan sekarang kita emang sahabat." Lalu aku tersenyum lebar.

Angga malah menggaruk-garuk kepalanya--yang aku yakin banget sebenarnya tidak gatal sama sekali. Itu memang ciri khasnya kalau sedang dalam posisi terjepit. "Bukan itu maksud gue, Nit." Sekarang dia menggigit bibirnya. "Errrr...ah, lo pasti ngerti lah maksud gue apa."

Aku tersenyum penuh arti, mengedipkan sebelah mataku, dan meninggalkannya. Terserah dia mau mengartikan apa responku tadi. Aku sih nggak keberatan dengan idenya. Yang jelas aku bangga, karena saat aku masih menggunakan seragam putih abu-abu, aku sudah bisa melakukan sebuah hal besar dalam hidup dengan merelakan impianku demi seseorang.

No comments:

Post a Comment