...semburat ketulusan dalam balut kesederhanaan...

FICTION>> Sehelai Kain Batik, Segenggam Rasa Syukur, Secercah Harapan

Shiria berdiri angkuh di samping mobil mewah miliknya yang berhenti di lobi sekolah. Untuk beberapa saat, ia hanya mengedarkan tatapan tajam ke sekelilingnya. Setelahnya, ia merapikan rok seragamnya yang sedikit kusut, dan mengibaskan rambut panjangnya.

"Nanti jemput saya jam lima tepat, Di. Jangan terlambat," katanya tegas kepada seorang anak muda yang berdiri di sampingnya.

Mardi, sopir pribadinya, mengangguk hormat. "Baik, Non." Mardi menutup pintu mobil, mengitari separuh bodi mobil, lalu melajukan mobil meninggalkan sekolah.

Shiria berjalan melintasi lobi dengan gaya memukau. Beberapa orang tersenyum padanya. Sebagian siswi menatap iri, para siswa pria melemparkan pandangan memuja, dan sisanya hanya menatap takut-takut ke arahnya atau bahkan tidak perduli dengan kehadirannya. Dan Shiria terus berjalan dalam balutan rasa percaya diri yang tinggi, tanpa terpengaruh keadaan sekitarnya. 

"Pagi, Shir.." Enam orang cewek menyapa antusias, yang hanya dibalas Shiria dengan tatapan dingin. 

Pagi ini Shiria benar-benar malas bermanis-manis dengan siapa pun, termasuk teman-teman geng-nya itu. Mood-nya merosot drastis gara-gara seragam baru yang dikenakannya. Tanpa melepas tas yang tersampir di pundaknya, Shiria membanting tubuhnya ke kursi, lalu sibuk dengan iPhone-nya.

"Shir..are you okay? Kenapa muka lo jutek banget, sih?" Tiara, teman sebangkunya, menghampiri Shiria yang sekarang sedang bersandar malas di bangkunya.

Shiria meliriknya sekilas, lalu memasukkan iPhone ke kantong kemejanya.

"Gabung sama anak-anak, yuk, Shir." ajak Tiara takut-takut. Cukup dengan melihat raut wajah Shiria, Tiara tahu kalau saat ini temannya itu sedang tidak berada dalam mood yang baik. Dan kalau hal itu terjadi, hanya ada dua hal yang Shiria lakukan : diam seribu bahasa seharian atau uring-uringan sambil marah-marah ke semua hal atau orang yang menurutnya salah dan mengganggunya.

Tanpa banyak bicara, Shiria meletakkan tasnya di meja, lalu bergerak malas-malasan meninggalkan mejanya, bergabung dengan geng-nya. Tiara menghembuskan nafas lega karena tidak harus menerima makian Shiria.

"Peraturan barunya nggak banget, deh. Masa kita disuruh pake beginian." Dengan muka muak Shiria menunjuk kemeja batik yang dipakainya. "Bayangin aja, kita harus ninggalin baju bebas kita. Padahal hari Jum'at adalah hari favorit gue di sekolah ini." Akhirnya Shiria buka suara, setelah sekian lama hanya diam memperhatikan teman-temannya membahas tentang peraturan baru di sekolah mereka yang mengharuskan siswanya memakai seragam batik setiap hari Jum'at.

Mereka mengangguk kompak, menyetujui pendapat Shiria.
Shiria, murid SMA Board School, sebuah komplek pendidikan swasta bergengsi di Jakarta yang mayoritas muridnya berasal dari keluarga terpandang dan kaya raya. Kebayang kan gimana glamour-nya sekolah itu di hari Jum'at, saat semua murid diperbolehkan memakai baju bebas? Setiap murid berusaha mengekspresikan gaya terbaiknya yang bisa menunjukkan siapa dan dari keluarga seperti apa mereka berasal. Barang-barang dari merk terkenal yang diimpor dari luar negeri bertebaran di seluruh penjuru sekolah. Hari Jum'at adalah hari yang sangat ditunggu setiap siswa, baik siswa SD, SMP, atau pun SMA. Tapi tiba-tiba pihak sekolah mengumumkan bahwa 'hari bebas' itu dirubah menjadi 'hari batik', setiap siswa wajib memakai seragam batik yang disediakan pihak sekolah. Perubahan ini menimbulkan pro dan kontra yang dimenangkan oleh pihak sekolah―walaupun sebenarnya para siswa tidak setuju dengan semua itu. Jadi, terhitung mulai hari Jum'at pertama di bulan April ini, 'peragaan busana' di Board School menghilang berganti dengan seragam batik.

"Eh..katanya, sih, sekolah nyuruh kita pake batik karena ada misi kemanusiaan gitu, deh." celetuk Tiara dengan nada seorang tukang gosip kawakan.

"Maksudnya?" sambar Shiria.

Semua yang ada di situ menatap Tiara dengan wajah bingung.

Tiara mencibir dengan gaya dramatis, seolah-olah dengan sikapnya ia ingin mengatakan : Duuh..gimana sih lo?! Masa gitu aja nggak tau?!

"Makanya update berita dong," lanjutnya setelah Shiria melemparkan tatapan tajam padanya.

"Kemarin gue nggak sengaja dengar ada yang ngomong kayak gitu di ruangan Ketua Yayasan.
Dari suaranya, sih, kayaknya itu Kepala Sekolah sama Ketua Yayasan, deh, gue juga nggak begitu jelas. Gue nggak bisa ngeliat siapa yang ngomong, pintunya cuma kebuka sedikit banget."

Shiria mendengus. "Nggak menjawab banget, deh, Ra. Pertanyaan gue, hubungannya seragam batik ini sama misi kemanusiaan itu apa??" tanyanya nggak sabar.

Tiara yang semula berniat mengulur-ngulur cerita demi melihat wajah penasaran teman-temannya, langsung mengurungkan niatnya. Kalau Shiria sudah mengeluarkan sikap ketus, itu artinya cepat bertindak atau kata-kata pedas meluncur deras dari bibirnya. Walaupun mereka berteman, tapi teman-temannya takut pada Shiria. Bagi mereka, ada pernyataan tak tertulis kalau Shiria adalah pemimpin mereka yang ditakuti.

Shiriana Pradono, putri tunggal seorang pengusaha terkenal yang merajai beberapa bidang bisnis di Indonesia. Kesibukan orang tuanya membuat Shiria tumbuh menjadi gadis dingin yang tidak perduli dengan lingkungan sekitar. Sikapnya cenderung bossy, belum lagi mulutnya yang setajam silet. Didukung dengan segala macam fasilitas yang disediakan orang tuanya, menjadikan hidup Shiria serba mudah, segalanya serba tersedia. Shiria tidak pernah merasakan hidup susah, dan itu menjadikannya tidak peka terhadap berbagai macam kesulitan di sekitarnya. Tapi ada hal-hal yang tidak dimilikinya, perhatian, kehangatan, dan kasih sayang orang tua, yang akhirnya menggiring Shiria menjelma jadi ratu es yang jutek dan sinis. Anehnya, Shiria termasuk murid berprestasi di sekolah. Segala atribut yang melekat pada dirinya membuat ia 'ditakuti'.

"Ada salah satu karyawan sekolah yang punya industri batik rumahan di…―" Tiara menghentikan ucapannya sambil berusaha mengingat nama suatu daerah. Keningnya berkerut dengan jari-jari tangan mengetuk-ngetuk permukaan meja. "Ah, gue lupa nama daerahnya. Pokoknya di Jawa, deh," sambungnya, menyerah.

"And then..?" todong Shiria saat disadarinya Tiara berhenti bercerita.

"Sejak suaminya meninggal setahun yang lalu, usaha itu nggak berjalan sama sekali. Padahal usaha itu jadi sumber penghidupan keluarga. Makanya pihak sekolah mau membantu keluarga itu dengan cara membuat seragam batik ini," ucapnya seraya menunjuk seragam batiknya.

"Tapi kan istrinya udah kerja di sini. Berarti sebenarnya masalah keuangan keluarga itu udah bisa diselesaiin, dong?" sambar Ajeng.

Tiara mengangkat bahu, "mana gue tau..yang gue denger, sih begitu. Katanya, sih..anak mereka banyak banget, jadi gaji ibunya nggak cukup buat menuhin kebutuhan hidup mereka, walaupun anak tertuanya juga kerja jadi sopir di Jakarta."

Semua teman-temannya terdiam, tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.

"Kasihan banget, ya..." celetuk Ajeng prihatin yang diikuti dengan anggukan setuju teman-temannya, kecuali Shiria.

Untuk beberapa saat, Shiria masih diam. Yang terdengar hanya tarikan nafasnya yang berat.

"Tapi tetap aja nggak bisa gitu, dong…itu kan sama aja mereka ngerampas kebebasan kita," tiba-tiba Shiria meradang. Kekesalan terdengar sangat jelas dalam suaranya.

Teman-temannya memandang Shiria dengan tatapan nggak menentu, antara memprotes sikap dingin Shiria dan takut untuk membantah.

Shiria bangkit, menghentakkan kakinya yang terbalut running shoes Puma biru muda―yang serasi dengan warna seragam batiknya―dan berjalan tergesa meninggalkan teman-temannya.

"Mau kemana lo, Shir?" teriak Tiara panik.

Shiria nggak memperdulikan teriakan Tiara. Dia malah mempercepat langkahnya melewati pintu kelas.

Mereka berenam saling berpandangan, bingung harus melakukan apa. Shiria itu kalau lagi marah bisa melakukan apapun, termasuk hal-hal yang membahayakan dirinya sendiri. Dan dari gelagatnya, sepertinya Tiara dan yang lainnya tahu kemana tujuan Shiria.

"Mau kemana lo, Jeng?" tanya mereka serempak saat melihat Ajeng ikut meninggalkan kelas.

"Nyusul Shiria. Gue takut apa yang ada di pikiran kita benar-benar kejadian."
::
Pagi ini, pemandangan yang sama―seperti pagi-pagi lainnya―terlihat di lobi SMA Board School: Shiria dengan gaya angkuhnya turun dari mobil. Kejadian selanjutnya bisa ditebak, seperti rol film yang diputar ulang, semua mata memandang padanya dengan berbagai macam persepsi di benak masing-masing. Hari ini adalah hari Jum'at, dua bulan setelah 'hari batik' pertama kalinya, bedanya, kali ini peragaan busana di Board School kembali terlihat.
Dua bulan yang lalu, dengan penuh emosi Shiria mendatangi kantor Ketua Yayasan. Dia mengungkapkan segala macam keberatannya akan peraturan sekolah yang baru. Merasa tidak mendapat respon dari Ketua Yayasan, Shiria mengajak teman-temannya untuk melakukan aksi protes: demonstrasi di depan kantor guru, pengumpulan tanda tangan di atas kanvas ukuran super besar lengkap dengan pernyataan keberatan mereka akan 'hari batik', serta mengadakan aksi mogok sekolah masal. Keadaan menjadi kacau balau. Kegiatan belajar-mengajar jadi sangat terganggu. Hebatnya, tidak ada satu murid pun yang tidak mendukung aksi protes itu. Artinya, semua murid pada dasarnya memang keberatan dengan keputusan sekolah untuk merubah 'hari bebas' menjadi 'hari batik'. 

Pihak Yayasan dan jajaran staf pengajar dibuat kewalahan dengan aksi ini. Padahal Ujian Nasional sudah di depan mata. Kalau semua kekacauan itu tetap berlangsung, bisa dipastikan Board School tidak mungkin bisa menetaskan lulusan-lulusan yang baik, lulusan yang dapat mengharumkan nama sekolah. Akhirnya diadakan rapat gabungan antara pihak sekolah, wakil siswa dari tiap jenjang pendidikan, dan orang tua siswa. Sebagian besar orang tua siswa mendukung anak-anak mereka, karena salah satu alasan mereka menyekolahkan anak-anaknya di Board School adalah karena peraturan sekolah yang berbeda dengan sekolah lainnya―di samping mutu pendidikan, tentunya. Di sini, kebebasan dan Hak Asazi Manusia masih dihargai, salah satunya adalah adanya 'hari bebas' dan ajang kreatifitas siswa yang rutin diadakan setiap minggu. Dan berdasarkan hasil rapat, diperoleh kesimpulan bahwa kebebasan yang bertanggung jawab yang dari dulu diterapkan di sekolah ini adalah salah satu kunci peningkatan prestasi siswa. Jadi, pihak sekolah mencabut peraturan baru dan kembali ke peraturan lama.

"Ehh..gue dengar-dengar, karyawan sekolah yang punya industri batik itu, mengundurkan diri. Tau deh kenapa? Gue sih ngerasanya aneh aja, katanya dia butuh uang buat biaya hidup, tapi malah berhenti kerja." Tiara, si biang gossip membuka pembicaraan di antara mereka pagi itu.

"Mungkin dia sakit hati kali…atau mungkin malu sama murid-murid di sini?" Ajeng mencoba berpendapat.

Shiria mengangkat bahunya cuek, nggak perduli dengan apapun yang sedang dibahas teman-temannya. Yang Shiria tahu, sekarang semuanya kembali normal, dia tidak perlu lagi memakai seragam batik yang menurutnya norak dan mengganggu kebebasan itu.
::
"Mbak Shiria?" sapa sebuah suara yang tidak dikenalnya.

Shiria mengangkat kepalanya dari layar laptop, lalu memperhatikan seorang ibu yang berdiri di hadapannya. "Iya. Ibu siapa?" tanyanya bingung. Shiria sama sekali nggak pernah melihatnya sebelum ini, apalagi mengenalnya.

Ibu itu tersenyum. "Se…selamat pagi, Mbak Shiria. Boleh saya duduk di sini?" tanyanya seraya menunjuk bangku di hadapan Shiria.

Dengan muka bingung, Shiria mengangguk.

Pagi ini keadaan kantin sekolah tidak begitu ramai. Padahal biasanya saat jam pelajaran bebas―jam 07.00 – 08.00 setiap hari Jum'at―seperti sekarang ini, para siswa lebih suka menghabiskan waktu di kantin, ketimbang di tempat lain. Tapi sepertinya tidak dengan hari ini, mereka lebih memilih ngobrol di lorong kelas, taman belakang, atau melihat pertandingan basket 3 on 3. Sedangkan Shiria lebih memilih menghabiskan waktunya di sini, berkutat dengan dunia maya yang terhubung lewat laptopnya.

"Mbak Shiria pasti bingung siapa saya, ya?" tiba-tiba si ibu bertanya, mengagetkan Shiria yang saat itu sedang memandangi si ibu sambil terus menggali memori otaknya, berusaha mengingat siapa orang yang duduk di hadapannya ini.

Shiria mengangguk pasrah, merasa gagal mengingat siapa lawan bicaranya.

"Saya Bu Marni, karyawan kantin." Bu Marni tersenyum seraya menyelesaikan kalimat perkenalannya. "Sebelumnya saya minta maaf, Mbak, kalau saya sempat membuat Mbak Shiria dan siswa lainnya merasa tidak nyaman. Saya sungguh tidak bermaksud melakukan semua kekacauan ini," lanjutnya dengan logat Jawa kental.

"Maksud ibu? Saya nggak ngerti," sahut Shiria dengan nada sinis andalannya.

Bu Marni memandangi Shiria takut-takut, sebelum akhirnya berkata, "Mbak Shiria pasti masih ingat dengan masalah seragam batik. Sa..sa..saya adalah karyawan sekolah yang memiliki industri batik itu. Maafkan saya, Mbak. Saya harap Mbak Shiria mau memaafkan saya dan tidak membenci saya. Saya melakukan semua itu hanya untuk bertahan hidup, membiayai keluarga saya."

Shiria melongo menatapi Bu Marni, segala macam perasaan bercampur jadi satu: kesal, iba, marah, nggak percaya. Shiria nggak tahu harus berbuat apa, akhirnya ia hanya menganggukkan kepalanya. Bu Marni tersenyum tulus, lalu menyodorkan tangan keriputnya mengajak Shiria bersalaman. Shiria bergerak seperti robot, menerima uluran tangan Bu Marni, tanpa benar-benar tahu apa sebenarnya yang terjadi. Ketulusan Bu Marni lah yang membuat Shiria mau membuang segala gengsi, ego, dan emosinya dan menerima permintaan maaf itu begitu saja, tanpa ngomel panjang-lebar seperti biasanya.

"Saya lega sekali karena Mbak Shiria mau memaafkan saya. Sekarang saya sudah bisa tenang. Terima kasih, Mbak Shiria." Bu Marni menatap Shiria dengan tatapan teduh seorang Ibu. Bu Marni menyodorkan sebuah bingkisan yang terbungkus kertas sampul coklat. "Ini untuk Mbak. Saya berharap Mbak Shiria mau menerima bingkisan ini, anggap saja sebagai permintaan maaf saya. Semoga Mbak Shiria suka…"

Shiria mematung, sama sekali tidak menyentuh bingkisan itu. Bu Marni bangkit dari duduknya, memutar badan, dan berlalu meninggalkan Shiria yang masih terbius dengan apa yang terjadi. Dia berusaha memerintahkan otaknya untuk mencerna apa yang terjadi, tapi sia-sia. Yang Shiria tahu, segala emosinya hilang begitu saja, berganti dengan perasaan nyaman. Perasaan bersalah perlahan menyusup ke hatinya. Shiria hanya diam, sampai akhirnya bel masuk berbunyi nyaring. 

Ia membereskan barang-barangnya dan bergegas ke kelas dengan membawa bungkusan warna coklat itu.
::
Entah karena alasan apa, Shiria tidak pernah berhasil mengusir bayangan kejadian di kantin pagi itu. Dia selalu merasa nyaman saat bayangan Bu Marni melintas di benaknya. Mungkin karena ketulusan yang disuguhkan Bu Marni adalah hal yang tidak pernah didapat Shiria. Selama ini, orang tuanya terlalu sibuk dengan urusan bisnis dan kehidupan sosialnya, sampai tidak punya waktu untuknya. Shiria hanya dilimpahi materi dan fasilitas, termasuk pelayan-pelayan yang bertebaran di rumahnya. Shiria sangat kesepian. Dan akhir-akhir ini, Shiria baru sadar betapa berharganya perhatian dan ketulusan yang diberikan orang-orang di sekitarnya―para pelayan di rumah maupun Mardi, sopir barunya yang diberikan Papa sepaket dengan mobil baru di hari ulang tahunnya―yang selama ini selalu dianggapnya remeh dan nggak berarti.

Shiria menyerah. Pasrah dengan semua yang terjadi. Sekarang dia baru tahu rasanya kehilangan. Shiria mengerti artinya mensyukuri apa yang dimilikinya. Dan semua itu karena kehadiran Bu Marni yang hanya beberapa menit. Dalam hati Shiria berjanji untuk lebih menghargai orang lain dan menghilangkan sikap sinisnya.
::
Hari ini Shiria sengaja datang pagi-pagi ke sekolah, ia ingin mengucapkan terima kasih dan meminta maaf kepada Bu Marni. Shiria sadar, aksi protesnya waktu itu telah membuat 'mati' banyak nyawa. Perbuatannya membuat keluarga Bu Marni harus membunuh harapan mereka untuk sebuah kehidupan yang layak.

Shiria berlari melewati lobi dan kantor guru, menyusuri deretan kelas, melintasi lapangan sekolah, lalu menyeberangi taman sekolah, agar bisa secepatnya sampai di kantin. Dia ingin segera bertemu Bu Marni dan melaksanakan niatnya. Shiria mencari sosok Bu Marni di seluruh penjuru kantin, tapi sampai detik ini, ia tidak berhasil menemukannya. Kantin yang tadinya sepi, kini sudah mulai ramai oleh siswa yang akan sarapan di sekolah.

"Mas, kenal Bu Marni?" Shiria bertanya pada penjual minuman.

"Ooh..Bu Marni yang dari Jawa itu, Neng? Yang karyawan baru itu? Kenapa memangnya?"
Penjual minuman itu menjawab sambil menyodorkan minuman kaleng pesanan Shiria.

Shiria mengangguk penuh semangat. "Iya, Mas. Mas tahu di mana Bu Marni?" tanyanya sambil menyodorkan selembar uang kertas ke penjual minuman.

"Bu Marni kan sudah tidak bekerja di sini lagi, Neng. Dia sudah mengundurkan diri sejak dua minggu yang lalu." Si penjual meberikan uang kembalian kepada Shiria, lalu beralih melayani pembeli lainnya.

Shiria terpaku di tempatnya. Perasaan kecewa menderanya.

"Makasih, Mas," ujarnya lirih dan berlalu dari tempat itu. Ia berjalan pelan meninggalkan kantin, mood-nya untuk sekolah menguap begitu saja. Dia mengambil iPhone dari kantong roknya, lalu menghubungi Mardi.

"Tolong jemput saya sekarang, ya," pinta Shiria begitu terdengar suara Mardi di telinganya.
Shiria duduk termenung di pinggir lapangan. Sekarang dia tahu rasanya kehilangan sesuatu yang (tanpa disadarinya) sangat berarti. Dia juga tahu apa yang dimaksud dengan ketulusan dan cinta kasih terhadap sesama.
::
Shiria melirik jam tangannya, sudah hampir setengah jam, tapi Mardi belum juga sampai.  Kalau sampai setengah jam ke depan Mardi belum datang, bel masuk sekolah akan berbunyi, dan itu artinya Shiria mau tidak mau harus mengikuti kegiatan sekolah.

"SHIRIAAAA…." Mendengar seseorang meneriaki namanya, Shiria mengedarkan pandangannya ke setiap sudut lapangan―yang pagi ini ramai oleh siswa/i yang melakukan olah raga pagi. Ia menemukan sosok keenam temannya sedang melambaikan tangan ke arahnya.

"Kemana aja, sih lo, Shir? Kita nyariin lo kemana-mana, tadinya kita pikir lo belum datang," tanya Tiara begitu mereka sampai di dekat Shiria.

Shiria tidak menjawab. Teman-temannya duduk di samping Shiria, lalu melakukan ritual pagi mereka: bergosip. Sementara itu, Shiria tetap asyik dengan alam pikirannya, tanpa perduli dengan berbagai pertanyaan teman-temannya.
::
"Mbak Shiria..." Shiria mendongakkan kepalanya dan menemukan Mardi berdiri di hadapannya dengan raut wajah panik penuh tanda tanya. "Mbak Shiria nggak apa-apa? Mbak sakit, ya? Kok minta saya untuk menjemput Mbak lagi?"

Shiria tersenyum, kemudian berkata, "kamu kenapa panik begitu?"

Mardi terpaku di tempatnya. Selama ia bekerja untuk keluarga Pradono, belum pernah nona kecilnya ini mau tersenyum kepadanya dan rekan-rekan sejawatnya. Jangankan tersenyum, berbicara saja seperlunya, itupun dengan nada ketus dan berisi perintah. "Saya pikir Mbak kenapa-kenapa…mungkin sakit, makanya Mbak minta saya jemput."

"Saya nggak apa-apa, kok. Cuma males sekolah aja." Shiria bangkit dari duduknya. "Girls, gue balik ya...bye..."

"Mau kemana lo, Shir? Is there something happen?" tanya Tiara.

"Nggak masuk kelas lo? Ngapain lo tadi dateng ke sekolah kalo sekarang lo malah pulang lagi?" sambung Ajeng yang dikuti anggukan yang lainnya.

"Nothing, cuma lagi nggak mood aja sekolah…ada masalah pribadi. Kalo gue maksain masuk, ntar malah bikin kacau." Shiria tertawa, melambaikan tangannya, masuk ke mobil, kemudian ia melongokkan kepalanya dari jendela mobil yang terbuka setengahnya sambil berkata, "gue cabut ya…ntar keburu bel." Jendela mobil pun perlahan bergerak naik, menenggelamkan sosok Shiria yang kini sudah bersandar di jok empuk mobilnya. Lalu mobil pun bergerak meninggalkan halaman sekolah, meninggalkan tatapan ingin tahu dari beberapa orang yang kebetulan melihat adegan tersebut, termasuk keenam teman Shiria.
::
"Kita kemana, Mbak?" tanya Mardi sopan setelah mobil yang mereka tumpangi melewati gerbang utama Board School.

"Pulang." Dan setelahnya, Shiria hanya diam sepanjang perjalanan.

Mardi memperhatikan majikan kecilnya melalui spion tengah mobil. Nggak biasanya ia diam seperti ini, padahal sejak tadi Mardi sudah berkali-kali membuat kesalahan―karena dia harus membagi konsentrasinya antara menyetir dan memperhatikan nona kecilnya. Padahal biasanya, sedikit saja Mardi berbuat salah, akan dihadiahi rentetan makian oleh Shiria.

"Maaf, Mbak...", Mardi berkata takut-takut, dengan pandangan tetap mengarah ke jalanan padat di depannya.

Shiria mengangkat kepalanya yang semula terkulai di sandaran jok belakang, lalu menatap Mardi, dan dengan matanya seolah bertanya 'ada apa?'.

"Mbak benar-benar tidak apa-apa?" lanjut Mardi masih dengan nada sungkan. "Saya perhatikan sejak tadi di sekolah, Mbak diam saja. Kalau memang Mbak sakit, lebih baik kita langsung ke rumah sakit dulu sebelum pulang, biar Mbak bisa segera mendapat pertolongan."

Shiria menggeleng. "Langsung pulang aja, Di. Saya nggak sakit, kok," jawab Shiria lemah.

Mardi mengangguk patuh, "baik, Mbak. Tapi kalau Mbak tidak keberatan, saya mau, kok mendengarkan masalah yang sedang Mbak pikirkan."

Shiria mendesah, kemudian memaksakan dirinya tersenyum. "Kamu pernah nggak ngerasa nyesel banget sama sesuatu yang udah kamu lakuin ke orang lain?"

Mardi terlihat berpikir sejenak, kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya berkali-kali.
"Pernah, Mbak..." jawabnya singkat.

Shiria memajukan duduknya. "Kita berhenti sebentar, Di...cari warung atau apa lah, pokoknya tempat yang bisa buat duduk-duduk," perintahnya ke Mardi yang langsung ditanggapi Mardi dengan menyalakan lampu sign kiri, menepi mendekati sebuah warung rokok di tepi taman kota.

Shiria memakai cardigan biru mudanya, kemudian turun dari mobil. "Kamu temani saya, ya, Di," katanya sebelum turun dari mobil.
::
Shiria duduk di bangku besi yang berjajar di sepanjang tepian taman kota. Sebelah tangannya memegang botol minuman. Dia melambaikan tangannya memanggil Mardi, menyuruhnya duduk di sampingnya.

"Keberatan nggak kalau saya minta kamu ceritain pengalaman kamu itu?" Shiria langsung membuka mulut, begitu Mardi duduk rikuh di sampingnya. Melihat tingkahnya, Shiria jadi tertawa sendiri, "kamu santai aja, jangan serba salah kayak gitu."
Mardi tersenyum malu. "Mau cerita apa, Mbak? Wong nggak ada yang istimewa dengan cerita saya itu."

"Nggak apa-apa, saya mau dengar aja. Siapa tau cerita kamu bisa membantu saya menyelesaikan masalah yang sedang saya hadapi sekarang."

Mardi mengangguk. "Waktu Bapak saya meninggal, saya sangat merasa bersalah karena tidak berada di sisinya, Mbak. Waktu itu saya sedang menempuh Ujian Akhir, makanya Ibu tidak memberi tahu saya, karena takut kabar itu akan mengganggu konsentrasi saya dalam mengerjakan soal-soal. Saya baru tahu semua itu siangnya, setelah pulang dari kampus, saat jenazah Bapak saya akan dimakamkan. Saya marah sekali pada Ibu dan adik-adik, juga saudara-saudara saya lainnya yang tidak mau memberi tahu saya langsung pada saat Bapak meregang nyawa. Saya menyalahkan mereka, Mbak. Bahkan saking marahnya, saya sampai tidak mau berbicara dengan mereka sampai satu minggu." Mardi mengusap wajahnya lalu menghembuskan nafas perlahan, sebelum akhirnya melanjutkan dengan suara yang lebih tenang, "tapi akhirnya saya menyesali apa yang saya lakukan, apalagi waktu Ibu bilang, alasannya tidak memberi tahu saya adalah karena tidak mau mengganggu konsentrasi saya…biar saya bisa tetap ujian dan lulus kuliah D3 saya."

Shiria mendengarkan dengan penuh minat. Bahkan sempat terkejut saat mengetahui kalau ternyata Mardi itu lulusan D3―tidak seperti dugaannya sebelumnya: tamatan SD―dan Ayahnya telah meninggal dunia.

"Terus? Akhirnya apa yang kamu lakukan?"

"Saya minta maaf kepada mereka, terutama kepada Ibu saya, Mbak. Habis itu perasaan saya lega sekali, Mbak."

Shiria melempar pandangannya ke jalanan di depannya yang padat oleh kendaraan bermotor. "Masalahnya saya nggak sempat minta maaf sama orang itu...", desahnya. "Dia sudah keburu pergi sebelum saya sempat minta maaf. Saya juga nggak tahu di mana rumahnya. Satu-satunya hal yang tersisa tentang dia hanya sebuah bungkusan berisi tiga helai kain batik, Di..."

Mardi memandangi Shiria bingung. "Maksud Mbak Shiria apa?"

"Iya…saya nggak bisa minta maaf sama orang yang sudah begitu baik sama saya, padahal saya udah jahat banget sama dia." Shiria meghentikan ucapannya sesaat, kemudian melanjutkan, "saya nggak tahu harus mencarinya kemana."

"Mbak Shiria yang sabar, ya...saya yakin, kalau niat kita baik, Dia pasti akan memberikan jalan-Nya." Mardi memandangi Shiria yang terdiam di tempatnya. Dari wajahnya terlihat kalau ia sedang gundah. "Maaf, Mbak...kalau saya boleh tahu, siapa orang yang sudah membuat Mbak Shiria sedih begini? Siapa tahu saya bisa membantu."

Shiria menoleh, menatap Mardi sesaat dengan tatapan penuh harap. Saat ini, apapun jalan yang harus ditempuhnya akan dilakukannya demi bertemu dengan Bu Marni, sekecil apapun kemungkinannya. Shiria tersenyum kecut, lalu menceritakan semua kejadiannya, lengkap tentang seragam batik dan Bu Marni.

Mardi tersenyum lebar setelah Shiria menyelesaikan ceritanya. "Saya yakin kalau saya bisa bantu Mbak Shiria. Sekarang Mbak nggak usah sedih lagi..s.emuanya nggak usah dipikirkan lagi, Mbak."

"Maksud kamu? Kamu kenal dengan Bu Marni?" tanya Shiria cepat, saking senangnya dia.

Senyum di bibir Mardi semakin mengembang, lalu dia mengangguk mantap. "Kenal sekali, Mbak..."

Shiria memandanginya dengan tatapan penuh tanya. "Maksudnya?"

Mardi tersenyum penuh arti. " Lha wong Bu Marni itu Ibu saya, kok, Mbak."

Kata-kata Mardi sukses membuat Shiria melongo hebat, nggak percaya dengan semua yang didengarnya. Mana mungkin bisa semudah ini menemukan Bu Marni? 

"Kamu pasti bohong, kan? Semua itu kamu lakuin cuma biar saya senang, kan?" Shiria terus menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Saya serius, Mbak...buat apa saya berbohong, tidak ada untungnya juga buat saya." Mardi berusaha meyakinkan Shiria yang masih tidak percaya dengan ucapannya.

"Kalau memang kamu nggak bohong, sekarang antarkan saya ke tempat Bu Marni," kata Shiria dengan nada mengancam.

Mardi mengusap wajahnya, bingung. "Itu nggak mungkin, Mbak...karena Ibu sudah pulang ke kampung sejak seminggu yang lalu," desahnya putus asa.

Harapan yang sempat timbul di hati Shiria, tiba-tiba menghilang begitu saja mendengar kata-kata Mardi. "Terus, gimana caranya saya ketemu Bu Marni? Gimana caranya saya minta maaf dan berterima kasih ke Bu Marni?" Shiria berkata lirih, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

"Nanti kalau saya pulang kampung, saya akan sampaikan apa yang ingin Mbak Shiria sampaikan ke Ibu."

Shiria menoleh spontan. "Nggak mau! Saya mau bertemu langsung," rangnya tertahan. Untuk beberapa saat Shiria hanya bengong. "Kesalahan saya tuh banyak banget, saya udah membunuh harapan beberapa nyawa untuk tetap bertahan hidup. Kalau bukan karena keegoisan saya, keluarga kalian pasti masih bisa mendapatkan penghasilan dari usaha batik itu. Bu Marni pasti juga masih bekerja di sekolah."

Mardi diam menatap majikan kecilnya. "Mbak Shiria segitu kepengennya ketemu Ibu, ya?"

Shiria langsung mengangguk. "Saya sangat menyesal dengan apa yang udah saya lakukan ke Bu Marni. Saya benar-benar ingin minta maaf langsung...bahkan kalau perlu, saya akan minta tolong Papa untuk mengembangkan usaha keluarga kamu."

Mardi mendesah. "Sekarang kita pulang saja, Mbak...nanti kita pikirkan sama-sama bagaimana solusinya."

Seperti robot, Shiria mengekor Mardi yang bergerak mendekati pedagang warung dan menyodorkan selemabr uang sepuluh ribuan, lalu berjalan ke mobil.
::
Mobil bergerak memasuki sebuah kawasan perumahan elit di bilangan Jakarta Selatan. Shiria tetap membisu di bangku belakang mobil. Air mata menetes satu per satu. Dia menangis dalam diam.

Mardi memperhatikan Shiria, dia khawatir melihat keadaan nona kecilnya yang ternyata berhati baik itu. Mungkin selama ini, kesepian hidupnya lah yang membuat dia selalu sinis memandang hidup. Mardi berbelok pelan di perempatan jalan, lalu menepikan mobilnya di depan deretan pedagang kaki lima yang mangkal di depan sebuah sekolah.

"Kamu mau ngapain berhenti disini?" tanya Shiria begitu kesadaran menghampirinya.

Mardi menengok ke bangku belakang, kemudian berkata, "saya mau membeli es sebentar, Mbak. Boleh, kan?"

Shiria mengangguk. Mardi meninggalkan mobil dan kembali dengan semangkok es sekoteng di tangannya. Dia menyodorkan mangkok es itu ke Shiria. Shiria menatapnya bingung.

"Kalau saya sedang sedih, Ibu selalu memberi saya es ini. Kata Ibu, rasa manis dan warna-warni dalam es ini bisa membuat kesedihan kita menghilang." 

Shiria memandang kosong ke arah Mardi. 

"Saya nggak mau melihat Mbak Shiria sedih terus, makanya saya belikan ini buat Mbak," ujarnya sambil memasrahkan mangkok es itu ke tangan Shiria.

Shiria menerimanya dan mulai memakannya.

"Mbak..kenapa hari ini Mbak nggak sekolah? Kan kasihan orang tua Mbak sudah membiayai sekolah Mbak Shiria. Masih banyak orang yang berharap untuk bisa sekolah, tapi nggak pernah kesampaian karena terbentur soal biaya." Mardi bertanya di tengah-tengah keasyikan baru yang didapat Shiria hari ini―menikmati semangkok es sekoteng pinggir jalan.

"Percuma aja sekolah…karena saya nggak akan bisa konsentrasi. Pikiran saya penuh dengan masalah Bu Marni," desah Shiria. "Lagian, mau saya sekolah atau nggak, orang tua saya juga nggak akan tahu…mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri."

"Tapi kan nggak harus mengorbankan sekolah, Mbak. Kalau saya yang melakukan itu, orang tua saya pasti akan sangat marah dan kecewa sekali. Orang tua saya selalu pesan ke kami, anak-anaknya, bahwa ilmu adalah jendela masa depan, jadi selagi masih ada kesempatan untuk menuntut ilmu, masih ada kesempatan untuk sekolah, jangan pernah disia-siakan."

Shiria terpaku di tempatnya. Entah kenapa, kata-kata Mardi begitu memojokkan, menyemburkan sebuah kesadaran baru tentang menghargai sesuatu dan rasa syukur akan itu.
Untuk beberapa saat Shiria diam, mencoba merenungi kebenaran kata-kata Mardi. Tiba-tiba dia menyodorkan mangkok kosong bekas es ke Mardi. "Tolong bayarin, ya," ujarnya seraya menyodorkan selembar uang.

Mardi menerima mangkok yang disodorkan Shiria, tapi menolak uang yang diberikannya. "Nggak usah, Mbak...kan saya ingin menghibur Mbak, jadi biar saya saja yang bayar."  Lalu Mardi langsung keluar dari mobil.

"Antar saya kembali ke sekolah, ya, Di," ujar Shiria begitu Mardi duduk di bangku pengemudi.

Mardi spontan menoleh ke belakang, tersenyum, lalu berkata, "baik, Mbak." Dan mobil pun meluncur kembali ke sekolah.

Shiria memang rugi karena ketinggalan beberapa pelajaran, tapi setidaknya dia masih bisa mendapatkan beberapa pelajaran sisanya hari ini. Yang paling penting, dia mendapatkan banyak pelajaran berharga dalam beberapa jam di pagi yang cerah ini, yang tidak mungkin didapatnya melalui buku-buku teks sekolahnya.
::
Liburan sekolah telah tiba. Hari ini, hari pertama liburan, Shiria bangun pagi-pagi sekali, dia sudah tidak sabar untuk segera memulai perjalanan liburannya kali ini. Ujian Nasional telah berhasil dilewati Shiria dengan mulus, tanpa suatu halangan yang berarti. Bahkan, saking semangatnya Shiria untuk menyambut hari ini, dia sampai rela belajar terus-menerus demi kelancaran kelulusannya. Akhirnya, setelah pengumuman kelulusan resmi diberikan dan urusan pendaftaran sebagai calon mahasiswa baru selesai dilaksanakan, hari ini,Shiria bisa bernafas lega karena dia benar-benar bisa berlibur, kemana pun dia mau.

Shiria mempersiapkan dirinya secepat yang dia bisa, lalu turun ke lantai bawah rumahnya. Senyum ceria tidak lepas dari bibirnya.

"Selamat pagi, sayang..." Mamanya yang juga terlihat sudah rapi menyapanya di ujung tangga.

"Waaah...sepertinya anak Papa bersemangat sekali ya hari ini. Padahal sekarang baru pukul…" Papanya menghentikan ucapannya, melirik jam besar di pojok ruangan, lalu melanjutkan, "―...lima subuh."

Shiria tersenyum lebar, kemudian balas menyapa orang tuanya. "Iya, dong, Pa...kan Shiria udah nunggu lama banget buat hari ini." Shiria memeluk Papa dan Mamanya bergantian, kemudian mereka beriringan berjalan ke ruang makan.

"Kamu sudah siap dengan perjalanan hari ini, Shiria?" Papanya membuka percakapan saat mereka sudah duduk manis di meja makan besar di bagian belakang rumah yang bersebelahan dengan taman.

Shiria mengangguk mantap. "Hmm...ngomong-ngomong, Papa sama Mama kok tumben jam segini juga udah rapi? Mau pada pergi juga ya?"

Papa dan Mamanya saling berpandangan sesaat, lalu tersenyum pada Shiria. "Papa dan Mama sudah sepakat kalau kita akan ikut kamu liburan. Rasanya sudah terlalu lama kita nggak menghabiskan waktu dengan kamu. Iya kan, Ma?"

Mama mengangguk. "Iya, Sayang...Papa dan Mama sudah putuskan untuk cuti satu minggu dan menemani kamu."

Shiria melongo sesaat, sebelum akhirnya menjerit tertahan, "beneran?!??"

Papa dan Mamanya mengangguk mantap sambil mengacungkan ibu jari mereka ke hadapan Shiria.

Sejak sesi obrolan paginya dengan Mardi waktu itu, Shiria berjanji pada dirinya sendiri untuk berubah. Dia berjanji untuk lebih menghargai dan mensyukuri segala yang dimilikinya, juga menghilangkan kesinisannya akan hidup. Shiria bertekad untuk berbagi dan mencintai sesamanya. Dan semua itu diawali dengan tekadnya untuk memperbaiki hubungan 'dingin' antara dia dan kedua orang tuanya.

Malamnyasetelah paginya Shiria mendapatkan banyak pelajaran berharga itudia menunggu orang tuanya hingga larut malam. Malam itu juga dia meminta waktu orang tuanya untuk berbicara dari hati ke hati: menceritakan apa yang terjadi belakangan ini, meminta maaf, dan meminta orang tuanya untuk memberikan perhatian padanya.

Dan langkah awal itu berhasil, sampai hari ini, mereka bersikap hangat kepada Shiria. Mereka tidak lagi melulu disibukkan oleh urusan bisnis, kegiatan sosial, atau pun kehidupan pribadi mereka sendiri. Puncaknya adalah waktu Shiria meminta izin kepada orang tuanya untuk memperbolehkannya menghabiskan waktu liburan kali ini untuk mengunjungi kampung halaman Bu Marni. Orang tuanya langsung menyetujui permintaannya, setelah sebelumnya mengutus orang kepercayaannya untuk meminta izin dan kesediaan dari Bu Marni. Bahkan, Mamanya mengajukan diri untuk ikut dalam perjalanan liburan Shiria kali ini.

Melihat antusiasme Mamanya, Papanya ikut-ikutan menunda segala macam urusan bisnisnya dan ikut bersama mereka. Belum lagi, Papanya berjanji untuk melihat prospek bisnis industri batik rumahan milik keluarga Bu Marni dan jika memungkinkan, akan membantu mengembangkannya. Shiria sangat senang mendengarnya, karena itu berarti, muncul secercah harapan baru bagi Bu Marni dan keluarganya.

Jadi, bukan suatu pemandangan yang aneh kalau pagi ini Shiria begitu berbinar bahagia. Bayangkan, dia bukan hanya akan segera bertemu dengan Bu Marni dan keluarganya, tapi juga bisa menghabiskan waktu liburan dengan keluarganya.
::
"Selamat pagi, Pak, Bu. Apa barang-barangnya sudah bisa saya masukkan ke mobil?" Mardi muncul di ambang pintu yang menghubungkan halaman belakang dengan ruang makan.

"Ya...ya...semua sudah siap di ruang tengah." Papanya menjawab setelah menenggak habis air minumnya.

Mama memanggil pelayan rumah untuk membereskan meja makan, berpesan ini-itu kepada mereka selama mereka ditinggal liburan, dan akhirnya bergegas ke teras depan menyusul Papa dan Shiria yang sudah berdiri di samping mobil.

Shiria tersenyum lebar, masuk ke dalam mobil, dan menyandar rileks di bangku belakang SUV mewah milik Papanya. Ia benar-benar mensyukuri semua hal berarti yang telah dan akan terjadi di hidupnya. Dia nggak sabar membayangkan pertemuannya dengan Bu Marni. Dia tersenyum-senyum sendiri, menerka-nerka tanggapan Bu Marni saat melihatnya datang dengan memakai kain batik pemberiannya waktu itu―yang telah disulapnya menjadi sebuah rok terusan yang stylish.

Mobil pun bergerak perlahan melewati gerbang megah rumah mereka, membawa sebuah harapan dan cerita baru.

Cat: cerita ini diikutsertakan dalam Writers4Indonesia yang diselenggarakan oleh nulisbuku.com.

1 comment:

Jelly Gamat QNC said...

thanks gan artikelnya
http://jellygamatqncoriginal.xyz/

Post a Comment