...semburat ketulusan dalam balut kesederhanaan...

FICTION>> Nyonya Besar

Dia melenggang penuh keyakinan, melewati gerbang kenikmatan tak kasat mata, memasuki dunia baru yang sebelumnya begitu jauh dari jangkauan. Bahkan untuk sekedar berharap pun terasa jauh.

Tapi tidak dengan hari ini, ketika dia berdiri di atas pelaminan penuh dekorasi, dengan antrian panjang tamu-tamu yang ingin memberikan ucapan selamat. Ketika semua sorot lampu tertuju padanya. Ketika kamera-kamera canggih mengabadikannya. Dengan bantuan perias profesional, wajah ‘biasa-biasa saja’ miliknya, disulap menjadi luar biasa. Manglingi, begitu orang menyebutnya. Senyum terindah yang bisa diberikannya pun tersungging di bibir.

Dia seolah berteriak kepada dunia tentang keberhasilannya menikah dengan orang yang dipilihnya. Orang yang menurutnya tepat dan bisa membawanya keluar dari segala kesengsaraan yang mengungkungnya seumur hidup. Dia tidak mempedulikan tatapan sinis atau melecehkan dari orang-orang yang—mungkin—tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang dia tahu, sekarang dia berdiri di sini dan menikmati segalanya.

Si pengantin pria mengerutkan kening, ketika seorang laki-laki muda menyalaminya dan menatapnya sinis. Lalu laki-laki itu beralih ke dia, si pengantin wanita yang menatapnya datar. Laki-laki itu malah menyodorkan tangan, menjabat tangannya. “Selamat…” ujarnya, lalu mendekatkan bibirnya ke pipi wanita itu.

Dia menarik mundur kepalanya. “Jangan macam-macam!” desisnya. “Lho? Apa salah kalau aku memberikan kecupan padamu di hari bahagiamu ini?” Laki-laki tadi berbisik.

“Salah, karena itu bisa merusak segalanya! Atau memang itu tujuanmu, merusak hari istimewaku?!?”

Laki-laki itu tersenyum masam. “Buat apa? Nggak ada untungnya buatku.”

Dia mendelik sewot.

Laki-laki itu menarik nafas dalam sebelum berkata, “jadi dia yang membuatmu meninggalkan aku?”

Dia menggeleng. “Bukan dia, tapi apa yang dia punya. Kehidupan mewah dan nyaman setelah ini lah alasanku sebenarnya.”

Laki-laki itu menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Dasar picik!”

Dia tersenyum. “Aku tetap akan mencintaimu.”

“Nggak perlu. Aku sangat ikhlas melepasmu. Kehilangan kamu bukanlah akhir dari segalanya. Aku malah bersyukur, Tuhan membuka mataku dan memberi tahuku perempuan seperti apa kamu. Selamat, kamu sukses menggapai mimpimu. Setelah ini kamu bisa menikmati apa yang mungkin nggak bisa aku berikan. Kamu bisa menjadi seorang Nyonya Besar.” Laki-laki itu pun berlalu.

Antrian jalur salaman yang sempat terhenti di pengantin pria, kini kembali normal. Dia pun kembali menyunggingkan senyum lebar, seolah menegaskan bahwa dialah Sang Nyonya Besar.

No comments:

Post a Comment