...semburat ketulusan dalam balut kesederhanaan...

FICTION>> Menggila Bersamanya

Berada di sebuah gedung tinggi di pagi seperti sekarang bukanlah hal menyenangkan. Saat ini waktu menunjukkan pukul 05:20, tapi karena ketakutanku akan kemacetan Jakarta, aku yang baru hari ini dipindahkan ke kantor pusat, memilih berangkat lebih awal. Alhasil, aku terperangkap dalam kesunyian gedung ini.

Aku berjalan menyusuri parkiran, lalu mataku tertumbuk pada sebuah kedai kopi. Dua orang barista terlihat membereskan meja-kursi. Aku membelokkan langkah ke sana.

“Maaf, kami baru buka pukul 06:00.”

“Ooh…kalau saya numpang duduk dulu, gapapa kan?”

Mereka mengiyakan.

“Makasih. Apa bisa pesan sekarang saja?”

Si barista mengangguk.

Minumanku datang pukul 06:03, bersamaan dengan munculnya seorang wanita. Rok terusan mini A-line hijaunya membuat tubuh tinggi langsingnya terlihat indah.

“Gila! Jakarta memang beda! Wanita cantik bertebaran dimana-mana!” gumamku. Lalu aku menertawakan kenorakanku.


Tiba-tiba mataku melihat sebuah nampan lengkap dengan secangkir kopi dan sepiring sandwich diletakkan di mejaku.

“Saya…—“ Kalimat protesku terhenti begitu aku menemukan wanita tadi menatapku sinis.

“Kenapa lo duduk di sini? Ini tempat gue!” ujarnya judes.

“Oh, gue pikir ini tempat umum, jadi ga ada masalah siapa mau duduk di mana.”

“Banyak meja lain yang bisa lo tempatin!”

“Tapi gue mau di sini,” jawabku tenang.

Lalu tangannya terulur, jari-jari lentiknya mencengkram gelasku dan memindahkannya ke meja sebelah. “Lo bisa pindah sekarang! Gue udah bantu pindahin minuman lo.”

Aku rasa wanita ini gila, atau mungkin perlu diajarkan etika. “Lo nggak bisa seenaknya nyuruh gue!”

“Kenapa?”

“Ini Jakarta, Non…nggak ada yang gratis di sini!”

Tiba-tiba sebuah bibir mungil melumat bibirku. Aku membeku di atas kursi. Kaget.

“Gue rasa itu cukup sebagai bayarannya!”

“Ugh…gue tetap nggak mau pindah,” kataku terbata. “Dicium wanita nggak dikenal di tempat umum bikin gue serasa jadi pecundang!”

“Terserah…yang penting gue udah bikin semuanya nggak gratis.” Dia mengitari setengah sisi meja, duduk di sofa di sebelahku, seolah tidak terganggu dengan kejadian tadi.

Otakku bekerja cepat untuk membalikkan keadaan. “Gue nggak terima perlakuan tadi.”

“Terus?”

Aku memajukan tubuhku, mendekatinya. Dia terkekeh panjang, meremehkan. Tanpa berpikir lagi, aku menarik kepalanya dan melumat bibirnya.

“Wow! Dasar cowok gila!”

“Lo yang memulai kegilaan ini!” Aku tertawa. “Bisa minta minuman gue balik ke sini?!” Dia mengedikkan bahu, lalu mengambil minumanku

No comments:

Post a Comment