...semburat ketulusan dalam balut kesederhanaan...

Divorce : Dari Siapa Untuk Siapa??


Sebuah perceraian PASTI BUKAN suatu hal yang diinginkan/direncanakan oleh pasangan manapun pada saat mereka memutuskan untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Biar gimanapun yang namanya perceraian itu adalah perpisahan. Dan yang namanya perpisahan itu banyakan nggak enaknya ketimbang enaknya. Tapi semua itu tergantung dari mana kita memandang. Tergantung dari sudut pandang mana, apa, dan siapa kita menilai.

Banyak contoh kasus yang membuat banyak orang mengeluarkan statement : "divorce is the worst thing ever to do!" atau "divorce is the least thing to do!" Semua itu berakar pada kenyataan bahwa yang namanya perpisahan itu jarang ada yang enak, alias banyakan nggak enaknya. Everybody has his/her own reason to make the best decission in his/her life.

Misalnya aja ada sebuah keluarga dengan dua orang anak yang masih duduk di bangku SD. Kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai dengan alasan finansial. Si istri selalu mendesak suaminya yang notabene adalah fotografer semi-pro untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan taraf seorang milyarder. Karena si suami merasa terbebani dan bosan karena selalu dirongrong dengan berbagai permintaan sang istri dan keluarga besarnya yang nggak masuk akal, hidup pernikahan mereka cuma diisi pertengkaran dan pertengkaran. Akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai. Sahabat mereka yang mendengar hal ini berusaha keras menentang keputusan ini. Dia bahkan berusaha dengan berbagai cara, mulai dari menasihati sampai lewat jasa cenayang supaya pasangan ini nggak cerai. Alasan yang dikemukakan si sahabat adalah : kalau mereka jadi cerai, kasihan anak-anaknya. Si cenayang, sih oke-oke aja ngebantuinnya. Mungkin dia berpikir kalau apa yang dia lakukan juga bukan hal yang negatif.

Dari usaha si sahabat yang mengupayakan segala cara untuk membuat mereka rujuk dan tanpa sepengetahuan yang bersangkutan, pasangan itu nggak jadi erai. Mereka rujuk lagi, balik tinggal satu rumah lagi, padahal tadinya mereka udah sempat pisah rumah.

Emang sih, endingnya jadi baik. Tapi baik buat siapa? Baik buat si anak dan perkembangannya, karena mereka bisa punya keluarga yang utuh dengan orang tua yang (mungkin terlihat) harmonis. Pernah nggak sih ada yang berpikir gimana nasib si kedua orang tua yang mau bercerai ini? Apa keputusan untuk membatalkan cerai ini juga baik buat pasangan itu? Kenapa sih tiap kali ada yang mau cerai, pasti pihak ketiga yang melihatnya selalu bilang : kasihan anak-anak. Apa mereka nggak berpikir gimana rasanya hidup bersama orang yang udah nggak satu visi dan misi.

Kalo gue lebih memilih buat menilai perceraian itu nggak hanya dari segi si anak. Gue akan mempertimbangkan gimana rasanya jadi si orang tua yang akan bercerai ini. Pasti bukan perkara mudah, membatalkan perceraian yang pastinya timbul karena sebuah ketidakcocokan yang berkepanjangan, dan mengubahnya jadi sebuah kecocokan dalam waktu yang relatif singkat. Jadi gue nggak akan ikutan arus yang bilang kalau perceraian itu nggak sehat buat si anak. Menurut gue, nerusin hubungan yang udah mau hancur juga nggak sehat buat si pasangan suami istri itu. Apa sih enaknya hidup dalam ketidakcocokan? Gue sih nggak janji, deh.

Let's say ada yang bilang kalo orang tua itu hidup untuk anak. Jadi apapun yang terjadi, mereka tetap harus bertahan buat si anak. Hellow..orang tua itu kan juga manusia, yang punya emosi dan hati yang nggak bisa terus-terusan dipaksa buat menerima apa yang terjadi (ketidakcocokan). Toh, walaupun orang tua cerai, seorang anak nggak akan berubah status jadi mantan anak. Walaupun orang tua nggak tinggal serumah lagi, si anak kan tetap punya dua orang tua.

Jadi sebenarnya keputusan cerai itu baik buat siapa? Tergantung dari segi mana kita memandang masalahnya dan seberapa berat masalah di balik ide perceraian itu.

No comments:

Post a Comment